PBMR: Aspirasi Kolektif yang Tersandera Kepentingan Elite Lokal

Opini63 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Fajar Damopolii – Pengurus PB HMI, Departemen Kedaulatan, Hukum, dan Keamanan (KUMHANKAM)

Penatoria – Wacana pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya (PBMR) kembali mencuat, Namun seperti biasa, gaungnya lebih terasa sebagai gema politik lima tahunan ketimbang perjuangan yang serius dan berkelanjutan. PBMR, yang sejatinya merupakan aspirasi kolektif rakyat BMR, terus-menerus dikerdilkan menjadi komoditas politik sesaat.

banner 336x280

Ironisnya, di tengah melemahnya arah perjuangan ini, masyarakat BMR justru disibukkan oleh hiruk-pikuk diskon dan promosi di pusat perbelanjaan milik pemodal lokal.

Masyarakat diarahkan pada aktivitas konsumtif, sementara masa depan daerah dan cita-cita menjadi provinsi mandiri justru terpinggirkan. Ini tentu bukan kesalahan rakyat semata, tetapi cerminan dari kegagalan kolektif—terutama elite politik dan birokrasi daerah—dalam menjaga bara semangat PBMR tetap menyala.

Di tengah senyapnya perhatian publik terhadap isu strategis ini, saya justru tersentak oleh suara seorang ibu yang dengan lantang berkata, “Putar Bale!”—sebuah ungkapan lokal yang kini ramai menghiasi status media sosial. Kalimat ini bukan sekadar ekspresi spontan, melainkan bentuk protes sosial yang halus namun menyentil. Dalam bahasa Indonesia, “Putar Bale” dapat dimaknai sebagai “Pembohong” atau “Pengingkar janji”—sindiran tajam terhadap mereka yang selalu mengulang janji pemekaran, tapi tak pernah benar-benar mewujudkannya.

Lebih dari sekadar makian, “Putar Bale” telah menjelma menjadi simbol sosial-politik rakyat yang muak dengan janji-janji kosong. Ia adalah suara hati masyarakat yang merasa dibohongi berkali-kali.

Sebuah frasa yang mencerminkan betapa dalamnya kekecewaan publik terhadap elite lokal yang menjadikan PBMR sebagai alat kampanye, bukan perjuangan berdaulat.

Ungkapan mengandung makna yang lebih luas—tentang hilangnya kepercayaan, runtuhnya harapan, dan tergerusnya legitimasi elite di mata rakyat.

“Putar Bale” adalah peringatan.

Ia menyuarakan kritik kepada elite yang mempermainkan isu pemekaran demi kepentingan politik jangka pendek. Ia adalah bentuk gugatan moral terhadap mereka yang menjadikan PBMR bukan sebagai perjuangan rakyat, melainkan sebagai alat tawar-menawar kekuasaan.

Sayangnya, sampai hari ini belum tampak keikhlasan politik dari para elite—terutama di tingkat regional—untuk benar-benar memperjuangkan pemekaran ini. Ada kekhawatiran terselubung: jika BMR mekar menjadi provinsi, maka akan terjadi reposisi kekuatan politik yang bisa mengganggu dominasi lama.

BMR dikenal sebagai lumbung suara dalam Pilkada Sulawesi Utara. Maka wajar jika sebagian elite merasa kehilangan kendali bila PBMR menjadi entitas politik tersendiri.

Kekhawatiran ini melahirkan sikap ambivalen.

Di satu sisi, mereka mendukung secara lisan. Tapi di sisi lain, tak ada langkah konkret yang menunjukkan keseriusan. PBMR hanya dipakai sebagai gimmick politik menjelang pemilu, dan dibekukan ketika pesta usai.

Masyarakat pun mulai jengah. Mereka terlanjur kecewa karena PBMR hanya menjadi wacana politik yang tak kunjung menghasilkan kemajuan. Lebih parah lagi, perjuangan ini kini seolah dimonopoli oleh segelintir orang yang mengklaim sebagai penggerak utama.

Publik melihat perjuangan ini tak inklusif dan cenderung personalistik.

Di tengah situasi ini, satu hal yang juga patut disoroti: belum ada figur pemersatu yang mampu menjadi magnet perjuangan PBMR. Tak ada tokoh kuat yang bisa menyatukan gerakan ini dalam satu komando dan visi yang jelas.

Ketidakhadiran figur ini menciptakan ruang kosong yang dimanfaatkan oleh elite untuk terus memainkan narasi tanpa tanggung jawab.

Sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam dan pengurus Departemen KUMHANKAM PB HMI, saya menegaskan bahwa PBMR bukanlah proyek politik lima tahunan.

Ini adalah perjuangan yang lahir dari ketimpangan pembangunan, dari ketidakadilan distribusi sumber daya, dan dari semangat untuk berdiri sejajar dengan daerah lain di Indonesia.

Dalam skema otonomi asimetris, pemekaran harus dimaknai sebagai koreksi terhadap ketimpangan, bukan sekadar pemecahan administratif.

Karena itu, perjuangan PBMR harus dibebaskan dari cengkeraman pragmatisme politik dan dominasi elite lokal. Kita memerlukan gerakan yang bersih, terarah, inklusif, dan melibatkan seluruh elemen masyarakat sipil. Dari akademisi, tokoh adat, pemuda, perempuan, hingga pelaku ekonomi lokal—semua harus diberdayakan dan dilibatkan.

Jika tidak, PBMR hanya akan menjadi cerita lima tahunan—selalu dibahas, tetapi tak pernah diwujudkan. Bahkan lebih buruk lagi, ia akan menjelma menjadi mitos yang kehilangan relevansi dan legitimasi sosial di tengah generasi muda.

Pemekaran bukanlah hadiah. Ia adalah hak konstitusional yang menuntut konsistensi, integritas, dan perjuangan yang bermartabat. Dan mungkin benar, “Putar Bale” bukan hanya suara sumbang rakyat kecil, tetapi gema nurani publik yang menuntut arah perjuangan dikembalikan ke tangan yang tulus. Sudah waktunya PBMR dibebaskan dari kepentingan sesaat, dan dikembalikan menjadi aspirasi bersama yang diperjuangkan dengan hati nurani dan visi jangka panjang.

“Putar Bale” bukan cuma ejekan. Ia adalah simbol rakyat yang kecewa, muak, dan menuntut perubahan.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *