Oleh : Rinaldi Potabuga
Penatoria, Bolaang Mongondow Raya –Isu pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya (PBMR) bukan hal baru. Ia sudah jadi obrolan lintas generasi selama puluhan tahun, semacam mimpi kolektif yang belum juga bangun, tapi tetap hangat dibicarakan.
Kini, ketika peluang pemekaran itu kian nyata, justru lahir kegelisahan baru. Benarkah semangat pemekaran ini tumbuh dari bawah? Atau jangan-jangan ia telah menjelma menjadi agenda politik segelintir elite yang sedang menyiapkan panggung baru?
Kita tahu, dalam politik, mimpi rakyat sering kali dibungkus manis demi kepentingan segelintir orang. Sejarah pun mencatat, tidak sedikit agenda besar yang menjanjikan kesejahteraan justru berujung pada kekecewaan.
Namun kita juga tidak bisa menafikan bahwa pemekaran PBMR punya alasan yang sahih. Ketimpangan pembangunan antara wilayah Bolaang Mongondow Raya dan wilayah lain di Sulawesi Utara, terlalu telanjang untuk disembunyikan.
Dalam berbagai sisi sangat kontras di hadapan kita. Dari infrastruktur, pelayanan publik, hingga akses terhadap pendidikan dan kesehatan, masyarakat BMR bisa dibilang tertinggal jauh.
Padahal, wilayah ini menyimpan kekayaan alam yang melimpah: emas, nikel, perikanan, dan kehutanan. Tapi selama ini, hasil kekayaan itu mengalir ke pusat kekuasaan, bukan ke nadi-nadi kehidupan warga lokal.
Karenanya, pemekaran ini mestinya bukan sekadar menambah provinsi di peta Indonesia. Ia harus dimaknai sebagai upaya menghadirkan negara lebih dekat ke rakyat. Soal akses. Soal keadilan. Soal pemerataan.
Lebih jauh lagi, pemekaran PBMR adalah soal harga diri. Sebuah bentuk pengakuan atas identitas kultural, bahasa, dan sejarah panjang Mongondow yang selama ini hanya menjadi catatan kaki dalam peta nasional.
Namun, di balik semangat ini, kita tidak boleh lupa, bahwa mimpi sebesar PBMR juga beriringan dengan tantangan yang cukup serius.
Secara struktural, BMR masih berjuang dengan keterbatasan SDM, kualitas tata kelola pemerintahan yang belum nampak stabil, serta indeks pendidikan yang masih terbilang rendah. Tingkat pengangguran dan kemiskinan, terutama di daerah-daerah pinggiran masih cukup tinggi.
Secara sosial-politik, oligarki lokal tetap menjadi penguasa narasi. Politik dinasti dan feodalisme kultural masih mengakar kuat, dan jika tidak diintervensi oleh kekuatan kritis rakyat, maka provinsi baru yang diimpikan bisa saja hanya menjadi perluasan wilayah kekuasaan elit lama.
Sudah barang tentu, rakyat berharap pemekaran PBMR bukan sekadar didorong atas keinginan merayakan simbol administratif.
Lebih dari itu, pemekaran PBMR mesti beriringan dengan semangat perbaikan yang nyata dalam berbagai aspek: jalan yang lebih baik, rumah sakit yang berfungsi, sekolah yang tidak roboh, dan peluang hidup yang adil.
Harapan terbesar dari pemekaran ini adalah desentralisasi yang lebih substansial, yakni pemerintahan yang responsif, anggaran yang lebih merata, dan keberpihakan terhadap kepentingan rakyat kecil.
Harapan-harapan itu tentunya hanya akan menjadi utopia jika tidak dibarengi dengan kesadaran politik yang matang dari seluruh lapisan masyarakat.
Untuk itu, perlu adanya keterlibatan semua pihak. Akademisi harus menjadi garda riset dan advokasi, menyuplai basis pikiran dan gagasan agar pemekaran tidak dibangun di atas asumsi.
Aktivis dan organisasi sipil society harus hadir di lapangan, mengedukasi rakyat, serta menjadi “watchdog” terhadap proses politik yang sedang berjalan. Dan rakyat harus aktif terlibat, menjadi subjek, bukan sekadar objek.
Kita harus belajar dari banyak daerah pemekaran lain yang gagal membuktikan manfaat nyata bagi rakyatnya. Bukan sedikit wilayah baru yang justru menjadi ladang korupsi baru, menciptakan birokrasi tambun dan kesenjangan baru. Jangan sampai PBMR menjadi bagian dari daftar kegagalan itu.
Selain itu, kita juga harus waspada terhadap kecenderungan elite lokal yang sering kali menjadikan berbagai isu sebagai komoditas politik. Jika narasi PBMR hanya bergulir di meja-meja kekuasaan tanpa melibatkan rakyat, maka yang akan lahir hanyalah simbol baru tanpa substansi.
Harapan besar dari PBMR adalah terciptanya pemerintahan yang lebih dekat, anggaran yang lebih merata, dan keberpihakan yang nyata pada kepentingan rakyat kecil. Tapi harapan itu hanya akan jadi kenyataan jika dibarengi dengan kesadaran politik yang tumbuh dari bawah.
Sebab mimpi pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya adalah mimpi semua pihak, dan hanya bisa diwujudkan bila dijaga dan dikawal secara kolektif. Jika tidak, PBMR bisa saja hanya menjadi nama baru untuk ketimpangan lama: korupsi, kolusi dan nepotisme.