Potret Ironi Pendidikan di BMR: Mungkinkah Pemimpin Baru Sulut Mengubah Nasib?

Opini69 Dilihat
banner 468x60

Kotamobagu, Penatoria – Di negeri ini, pendidikan selalu dielu-elukan sebagai kunci kemajuan. Akan tetapi, dalam praktiknya justru diperlakukan sebagai sektor pendukung, bukan prioritas utama. Kita sering mendengar narasi dari para pejabat dan elite politik tentang pentingnya pendidikan, namun realitas di lapangan berkata lain.

Alokasi anggaran nasional lebih banyak difokuskan pada pembangunan infrastruktur fisik, pertahanan, atau proyek-proyek strategis yang cenderung pragmatis. Sementara itu, pendidikan—yang sejatinya merupakan investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa—sering kali menjadi korban kebijakan instan dan populis.

banner 336x280

Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka, dalam pemikirannya menegaskan bahwa pendidikan merupakan senjata utama dalam menciptakan kesadaran kritis dan revolusi sosial. Ia berargumen bahwa tanpa pendidikan yang baik—berkualitas, masyarakat hanya akan terus bergantung pada pihak luar dan tidak mampu mencapai kemandirian.

Gagasan tersebut semakin relevan jika kita melihat bagaimana pendidikan di berbagai daerah, termasuk di Sulawesi Utara, masih belum menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Meski provinsi ini memiliki potensi luar biasa, kebijakan yang diterapkan masih lebih banyak berorientasi pada pembangunan infrastruktur fisik daripada pembangunan manusia. Infrastruktur memang terus berkembang, tetapi apakah pembangunan itu benar-benar menyentuh kebutuhan esensial masyarakat? Apakah itu memberi dampak langsung bagi peningkatan kualitas manusia?

Ketimpangan ini semakin nyata ketika kita melihat kondisi di Bolaang Mongondow Raya (BMR). Sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, BMR telah lama menjadi kontributor utama bagi perekonomian Sulawesi Utara. Namun, ironisnya, hasil kekayaan alamnya terus mengalir keluar, sementara akses terhadap pendidikan tinggi tetap menjadi sesuatu yang sulit dijangkau.

Memang, saat ini telah ada beberapa perguruan tinggi swasta yang berdiri di Kota Kotamobagu dan sekitarnya. Namun, kehadiran institusi-institusi ini belum cukup untuk menunjang kebutuhan pendidikan tinggi yang memadai bagi anak-anak BMR. Kualitas, daya tampung, dan fasilitas masih jauh dari standar yang diharapkan untuk membangun ekosistem pendidikan yang kuat dan berdaya saing.

Sangat tidak relevan jika sebuah tanah yang kaya akan sumber daya alam justru tidak memiliki akses pendidikan tinggi yang sepadan. Kekayaan alam yang melimpah seharusnya beriringan dengan lahirnya pusat-pusat pendidikan berkualitas yang dapat mencetak generasi intelektual, bukan sekadar menjadi lumbung eksploitasi bagi kepentingan pihak luar.

Dampak dari keterbatasan ini begitu nyata dalam kehidupan anak-anak BMR yang ingin menempuh pendidikan tinggi. Pilihan mereka terbatas: pergi ke Manado, Gorontalo, Makassar, atau bahkan lebih jauh lagi. Namun, tidak semua memiliki kesempatan itu. Banyak yang harus mengubur mimpi karena keterbatasan ekonomi dan aksesibilitas. Bahkan, mereka yang berhasil menempuh pendidikan di luar daerah sering kali enggan kembali, meninggalkan BMR dalam lingkaran ketertinggalan yang terus berulang.

Jika pemerintah benar-benar ingin membangun BMR, maka pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam semata. Tidak cukup hanya membangun jalan raya agar perusahaan tambang lebih mudah mengangkut hasil bumi. Yang dibutuhkan adalah investasi dalam pembangunan manusia—pendidikan harus menjadi fondasi utama agar BMR memiliki generasi intelektual yang mampu mengelola sumber dayanya sendiri.

Di sinilah kepemimpinan baru Sulawesi Utara di bawah Yulius Selvanus & Victor Mailangkay (YSK-VICTORY) memiliki peluang emas untuk menorehkan sejarah. Jika mereka ingin dikenang sebagai pemimpin yang membawa perubahan nyata, maka pendirian Universitas Negeri di BMR harus menjadi salah satu prioritas utama dalam agenda pemerintahan mereka.

Namun, ini bukan sekadar soal mendirikan sebuah institusi pendidikan. Lebih dari itu, ini tentang membangun masa depan. Ini tentang menciptakan kesempatan yang adil bagi anak-anak BMR untuk mengejar mimpi tanpa harus meninggalkan tanah kelahirannya. Pendidikan harus menjadi prioritas utama, bukan hanya wacana di atas kertas atau sekadar janji kampanye. Pemerintah Sulawesi Utara harus berani menjadikan pendidikan sebagai panglima pembangunan, bukan sekadar sektor pendukung.

Sebab, sebuah bangsa tidak akan dikenang dari seberapa banyak sumber daya yang telah digali, atau seberapa besar proyek infrastruktur yang telah dibangun. Tetapi dari seberapa banyak manusia cerdas yang kita lahirkan untuk menuntun peradaban ke arah yang lebih cerah-tercerahkan

Dan bagi BMR, langkah pertama menuju perubahan itu dimulai dengan satu kebijakan konkret: wujudkan Universitas Negeri di Bumi Totabuan Bolaang Bolaang Mongondow Raya

Lantas, mungkinkah Pemimpin Baru Sulawesi Utara, dapat mewujudkannya? Ataukah mereka akan kembali terjebak dalam siklus kepemimpinan yang sekadar mengulang sejarah?

 

Opini Oleh: Rinaldi Potabuga (Pegiat Literasi)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *